Storytelling, Obat Mujarab Wabah dan Komunikasi Publik
Ketika khalifah Umar bin Khattab melakukan perjalanan ke Syam (Suriah) pada tahun 18 Hijriah, terjadi serangan wabah besar di sebuah perkampungan bernama Amawas yang terletak antara Ramallah dan Baitul Maqdis. Wabah membuat puluhan ribu orang meninggal, termasuk beberapa sahabat Rasulullah SAW. Situasi tersebut membuat Umar bin Khattab bermusyawarah dengan panglimanya dan kemudian mengurungkan niatnya masuk ke daerah Syam.
Hadits Riwayat Bukhori menyampaikan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan, “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada maka jangan tinggalkan tempat itu“. Warga diminta untuk melakukan isolasi mandiri untuk menekan penularan wabah penyakit tersebut. Sejarah Islam kemudian mengenal tempat tersebut dengan istilah Thaun Amawas (wabah Amawas).
Banyak sekali konten storytelling menarik di bulan Ramadan yang dapat memperkuat semangat dan mendukung Masyarakat. Storytelling saat pandemi dahulu menjadi contoh yang terbilang efektif ketika dibangun berdasarkan pengalaman yang didukung data dan fakta menarik, atau, cerita yang terkait dengan situasi dan kondisi yang ada di masyarakat.
Konten storytelling yang baik akan efektif menjangkau dan memengaruhi masyarakat. Sebaliknya, narasi yang tidak sesuai akal sehat dan mengusung pesan negatif, dengan sendirinya terabaikan oleh masyarakat yang semakin cerdas.
Seni Komunikasi
Storytelling sesungguhnya adalah seni komunikasi dan strategi pesan yang paling efektif dalam memberikan pengaruh pada perkembangan sosial budaya suatu masyarakat. Storytelling yang efektif dilakukan dengan menggunakan narasi ataupun tindakan komunikasi lainnya untuk memperkuat gambaran makna lewat cerita peristiwa sehingga mendorong imajinasi audiensnya memahami ide narasinya.
Dalam sebuah buku berjudul Communication Theories in Action, Walter Fisher mengistilahkan manusia sebagai homo narran, atau makhluk pencerita. Pemikiran pakar teori naratif dalam ilmu komunikasi ini tak lepas dari teori moral Alasdair MacIntyre yang mengungkapkan kecenderungan manusia dalam tindakan identiknya sebagai makhluk pencerita. Cerita yang memiliki pengaruh kuat tak sekadar mengandalkan kekuatan kata-kata, tapi juga realita, logika, dan cara berpikir yang terhubung dengan audiensnya.
Walter Fisher juga menggambarkan bahwa keberhasilan storytelling sangat bergantung pada tiga faktor penting: rasionalitas narasi, probabilitas, dan kesetiaan narasi. Rasionalitas narasi berarti tingkat kepercayaan audiens, probabilitas melihat peluang cerita berdampak positif diterima audiensnya, dan kesetiaan terhadap narasi yang memperlihatkan kedekatan cerita dengan peristiwa atau pengalaman audiensnya.
Narasi storytelling dikembangkan dengan menggunakan imajinasi dan kecerdasan untuk memahami orang lain dan dirinya sendiri. Sebagai bagian dari strategi komunikasi, storytelling digunakan untuk mengatur dan menafsirkan fenomena kolektif ataupun individu. Selain itu, juga untuk memberikan pemahaman atas pengalaman pribadi kepada orang lain melalui sebuah proses berbagi kisah dan dialog.
Salah satu contoh saat itu adalah kisah kengototan sejumlah individu yang cenderung melawan petugas di tengah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Aksi tak terpuji yang muncul di media sosial tersebut menuai respons negatif karena bertabrakan dengan akal sehat masyarakat di tengah Covid-19 saat ini. Masyarakat yang kian cerdas tentu memiliki kemampuan memilih kualitas storytelling yang lebih baik dalam kebiasaannya menggunakan media saat ini.
Konten Positif
Studi Nielsen menunjukkan pola peningkatan jumlah penonton dan durasi menonton televisi yang cukup signifikan. Dari Januari hingga April 2020, durasi menonton televisi dari kelompok target pemirsa upper class 2 mengalami pertumbuhan dari 4 jam 57 menit, menjadi 5 jam 30 menit.
Logika dan akal sehat masyarakat mempengaruhi masyarakat dalam memilih storytelling yang baik terkait situasi Covid-19 dahulu dan ibadah Ramadan. Parameter ketertarikan masyarakat terhadap pilihannya terlihat dari kecenderungan minat masyarakat terhadap program televisi yang ditawarkan saat ini.
Hasil riset kepemirsaan Nielsen setidaknya memberikan gambaran 10 besar teratas tayangan televisi yang diminati pemirsa yang tak lepas dari cerita bernilai informatif, edukatif, dan religius.
Respons netizen dan data Nielsen di bulan Ramadan saat pandemi Covid-19 dapat menjadi gambaran besar tingkat kebutuhan storytelling positif, yang juga dapat ditangkap oleh lembaga penyiaran ataupun kreator konten digital. Selain menyodorkan storytelling sesuai kebutuhan masyarakat, tanggung jawab moral membantu pemulihan situasi pandemi Covid-19 di tengah masyarakat melalui berbagai hikmah Ramadan, tentunya menjadi kunci penting media meraih kemenangan Ramadan merebut hati masyarakat.
Storytelling di media sesungguhnya menjadi peta penting perjalanan kita melewati badai pandemi Covid-19, dan meraih kemenangan Ramadan saat ini. Dibutuhkan komitmen bersama, moralitas, dan pesan-pesan storytelling positif yang dibangun berdasarkan data fakta dan logika yang tepat, serta dekat dengan masyarakat, untuk dapat menjadi pegangan mengantisipasi kondisi saat ini.
Pengelolaan krisis yang baik membutuhkan kebijakan para pemimpin yang kuat dan kebersamaan masyarakat untuk mendorong pemulihan dengan storytelling positif. Hanya kekompakan para pemimpin dan komitmen bersama masyarakat yang dapat membantu Indonesia lepas dari kebingungan dan keresahan, serta meredam kepanikan sosial dan ekonomi untuk dapat kembali lebih sehat.
Penulis: Nugroho Agung Prasetyo, S.Sos, MSi (Praktisi Komunikasi ISKI Pusat)
No Responses